Example floating
Example floating
Berita

Mengapa Warung Madura 24 Jam Jadi Sorotan?

×

Mengapa Warung Madura 24 Jam Jadi Sorotan?

Sebarkan artikel ini

MEMO KEDIRI, KEDIRI – Bisnis warung Madura yang buka selama 24 jam menghadapi berbagai tantangan, mulai dari masalah keamanan hingga strategi ekonomi yang harus diatur dengan cermat. Di samping itu, fenomena migrasi dan pembentukan komunitas eksklusif juga menjadi bagian penting dalam dinamika mereka di perantauan.

Keamanan, Ekonomi, dan Komunitas Eksklusif di Perantauan

Berikut adalah versi konten yang telah direwrite dari konten AI ke dalam bahasa manusia dengan teknik parafrasa dan spinner artikel:

Membuka warung selama 24 jam tentu memiliki berbagai tantangan, terutama dari segi keamanan. Malam hingga dini hari cenderung sepi, sehingga menjual di tepi jalan yang ramai menjadi pilihan untuk menghindari potensi kejahatan.

Menurut Wasi, pemilik warung, jalan provinsi adalah tempat yang ramai sepanjang waktu, kecuali pada waktu subuh yang biasanya sepi.

Warungnya dijaga suaminya di malam hari, sementara siang hari gilirannya dia yang menjaga. Namun, tetap saja, rasa kantuk sering kali mengganggu.

“Karena toko ini masih baru, belum terlalu ramai. Saya masih bisa rebahan. Terkadang jika tertidur, pembeli yang datang membangunkan saya,” katanya sambil tertawa.

Selain untuk menjaga keamanan, dia juga menjalankan warung selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan biaya sewa tempat tinggalnya. Warung berukuran sekitar 3 x 6 meter itu tidak hanya sebagai tempat usaha tetapi juga sebagai tempat tinggal.

“Sewa kontraknya lumayan, Rp 12 juta setahun,” ungkapnya.

Dia mengadopsi kultur berdagang dari tanah kelahirannya di Kota Kediri untuk memaksimalkan pendapatannya.

“Di tempat saya, hampir setiap warung kelontong pasti memiliki produk tambahan, seperti makanan, sayuran, buah, atau jajanan seperti pentol ikan. Saya juga ingin menjual makanan, tapi masih sulit karena harus sendirian siang hari. Suami saya biasanya tidur sampai jam 10 pagi setelah begadang semalaman,” katanya.

Sebagai pendatang, dia harus mengandalkan dirinya sendiri dan suaminya untuk mengelola semua aspek bisnis, mulai dari pembelian barang dagangan hingga mengatur jam operasional.

“Jika ada anak yang bisa membantu, mungkin saya bisa menjual makanan juga. Tapi anak saya yang besar masih kuliah,” tambahnya.

Berbeda dengan pengalaman Siti, pemilik warung lainnya, yang menghadapi gangguan dari anak-anak muda selama delapan bulan berjualan.

“Banyak anak muda yang ingin menitipkan motor atau STNK di sini, tapi saya menolak karena khawatir terjadi sesuatu,” ujarnya.

Siti memilih untuk tidak menerima permintaan seperti itu karena takut barang-barang yang dititipkan merupakan hasil kejahatan.

Pendekatan yang berbeda dilakukan oleh Kapolres Kediri Kota, AKBP Bramastyo Priaji, yang memberikan perhatian khusus terhadap peningkatan toko Madura di Kota Kediri dari segi keamanan.

“Mereka harus siap dengan segala kemungkinan. Siapa yang bertugas di malam hari, penerangan di sekitar lokasi, dan apakah mereka menggunakan CCTV atau tidak,” jelasnya.

Menurut Bram, membuka toko 24 jam kurang efektif jika pembeli hanya datang sampai jam 12 malam.

“Jika pembeli hanya datang sampai tengah malam, membuka toko sampai subuh tidak akan efisien,” tambahnya.

Buka di malam hari juga tidak dianjurkan karena berisiko bagi kesehatan, dan biaya untuk orang yang jaga malam lebih tinggi.

Dalam konteks perantauan, fenomena migrasi warga Madura ke kota-kota lain bukanlah hal baru. Seperti halnya etnis Minangkabau dan Batak, warga Madura juga banyak ditemui di berbagai daerah. Namun, mereka sering menghadapi stigma dan diskriminasi di tempat baru.

Menurut Wida Ayu Puspitosari, Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, stigma terhadap etnis Madura sering kali berdampak pada diskriminasi dan marginalisasi, terutama dalam aspek kehidupan sosial dan ekonomi.

Untuk mengatasi stigma ini, warga Madura cenderung membentuk komunitas eksklusif di tempat perantauan mereka, yang tidak hanya memberikan dukungan sosial tetapi juga memperkuat identitas mereka.

Interaksi yang lebih intens antara warga lokal dan komunitas Madura dapat mengurangi prasangka dan membangun saling pengertian, yang dapat diwujudkan melalui program integrasi sosial seperti festival budaya dan forum komunikasi.

Bisnis Warung Madura 24 Jam: Tantangan dan Strategi

Warung Madura 24 jam memerlukan strategi keamanan yang kuat untuk mengatasi potensi risiko di malam hari. Aspek ekonomi menjadi fokus utama dalam menjalankan warung selama 24 jam.

Pembentukan komunitas eksklusif oleh warga Madura di perantauan mendukung solidaritas dan identitas bersama mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *