Dua bidang tanah di Kelurahan Mojoroto, Kecamatan Mojoroto berpotensi masuk tahap konsinyasi akibat ketidaksetujuan pemilik dalam pembebasan lahan untuk proyek Tol Kediri-Tulungagung. Musyawarah terakhir pada Rabu lalu belum mencapai kesepakatan, memunculkan opsi kontroversial di antara warga terdampak.
Krisis Tanah Tol Kediri-Tulungagung: Ancaman Konsinyasi Memuncak
Dua area tanah di Kelurahan Mojoroto, Kecamatan Mojoroto yang terkena dampak dari proyek Tol Kediri-Tulungagung (Ki Agung) menghadapi kemungkinan untuk masuk tahap konsinyasi. Hal ini terjadi setelah pemilik tanah belum memberikan persetujuan bahkan setelah dilakukan musyawarah ketiga pada Rabu (15/5) yang lalu, yang merupakan tahap terakhir dalam proses tersebut.
Linanda Krisni Susanti, Ketua Tim Pengadaan Tanah (TPT) Tol Kediri-Tulungagung, menyatakan bahwa ada dua opsi yang bisa diambil jika warga masih menolak pembebasan tanah. Mereka dapat mengajukan gugatan di pengadilan negeri (PN) atau menerima konsinyasi sebagai langkah terakhir.
“Jika tidak ada kesepakatan, surat perintah konsinyasi akan dikeluarkan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah atau kepala BPN terhadap tanah-tanah yang masih menolak pada musyawarah ketiga,” ujar Linanda Krisni Susanti.
Meskipun uang ganti rugi (UGR) akan dititipkan di PN, namun tetap akan diberikan kepada warga terdampak setelah penetapan konsinyasi, di mana tanah tersebut akan berstatus milik negara.
“Perbedaannya hanya pada proses pembayaran. Dalam pembayaran normal, UGR dapat langsung diterima dari TPT oleh warga. Namun dalam konsinyasi, UGR akan dititipkan di PN sehingga warga harus mengambilnya dengan membawa surat pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah,” jelas Linanda.
Sebelumnya, proses konsinyasi telah dilakukan untuk beberapa bidang tanah di Kabupaten Kediri. “Beberapa bidang di Desa Tiron dan Desa Manyaran sudah melalui proses konsinyasi di PN Kabupaten Kediri,” tambahnya.
Konsinyasi dan Tantangan Musyawarah: Dampak Proyek Tol Kediri-Tulungagung
Linanda juga menjelaskan bahwa proses konsinyasi akan dilaksanakan jika warga yang terdampak yang masih menolak tidak mengajukan gugatan ke PN setempat. Gugatan tersebut dapat mengakomodasi ketidaksetujuan warga terhadap proses pembebasan tanah.
“Mengubah ketentuan musyawarah atau tidak, itu tergantung keputusan hakim setelah mempertimbangkan bukti-bukti dalam persidangan,” lanjutnya.
Sebagaimana dilaporkan, musyawarah ketiga untuk tiga bidang tanah di Kelurahan Mojoroto mengalami kendala karena belum ada persetujuan dari pemiliknya untuk dua bidang tanah tersebut. Salah satu kendala utamanya adalah sengketa atas kepemilikan tanah dari ahli waris.
Supriyono, salah satu warga yang terdampak, mengungkapkan bahwa belum ada kesepakatan di antara para ahli waris meskipun telah melakukan mediasi berkali-kali. Pihak kelurahan sendiri sudah melakukan tujuh kali mediasi di luar musyawarah yang diatur oleh panitia pengadaan tanah.
“Issue ini melibatkan data yang saya miliki dan yang dimiliki oleh mereka. Kedua belah pihak bertahan untuk tidak mengalah. Saya berpendapat bahwa selama para ahli waris lainnya tidak bisa hadir untuk bermusyawarah, maka masalah ini tidak akan terselesaikan,” ujarnya.
Supriyono juga mengakui bahwa sengketa antar ahli waris ini memperlambat proses pencairan uang ganti rugi. “Kami tidak masalah dengan proyek tol ini. Namun, dua saudara ini memiliki rumah yang tidak akan mendapatkan ganti rugi jika masalah tanah belum terselesaikan,” tambahnya, seraya meminta panitia pengadaan tanah untuk membawa semua ahli waris sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya.
Setelah pertemuan tersebut, warga yang masih menolak memberikan persetujuan diberi waktu hingga 14 hari untuk berunding lagi dengan para ahli waris sebelum membuat keputusan akhir.
Proyek Tol Kediri-Tulungagung: Ancaman Konsinyasi dan Tantangan Musyawarah Tanah
Kendala utama dalam proses ini adalah sengketa kepemilikan tanah antara ahli waris, yang menghambat kesepakatan akhir. Meskipun telah dilakukan mediasi berulang kali, belum ada titik temu yang memuaskan di antara mereka. Proses konsinyasi di PN Kabupaten Kediri telah menjadi alternatif jika musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan. Warga yang menolak masih diberi waktu tambahan untuk menyelesaikan perbedaan dengan ahli waris sebelum keputusan akhir dibuat, mempertimbangkan implikasi jangka panjang bagi proyek dan masyarakat setempat.